Ketua Umum Ikatan Media Online (IMO) Indonesia, Yakub F. Ismail, saat menyampaikan pandangan terkait wacana pengembalian mekanisme Pilkada melalui DPRD. (Foto : Ilustrasi Imoindonesia)
CIANJUR - Diskursus mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah kembali menghangat setelah munculnya wacana pengembalian Pilkada melalui DPRD. Gagasan yang beberapa kali muncul dalam ruang perdebatan nasional ini kembali memperoleh sorotan tajam, terutama setelah dilakukan evaluasi atas pelaksanaan Pilkada langsung selama lebih dari dua dekade pascareformasi.
Wacana tersebut mengemuka dengan beragam argumentasi, mulai dari tingginya biaya politik Pilkada langsung, potensi konflik horizontal, hingga maraknya praktik politik uang. Namun di sisi lain, banyak pihak menilai bahwa pemilihan langsung merupakan roh demokrasi yang harus dipertahankan demi menjaga legitimasi rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi.
Ketua Umum Ikatan Media Online (IMO) Indonesia, Yakub F. Ismail, menegaskan bahwa perdebatan ini tidak bisa dipandang sederhana karena menyangkut arah demokrasi Indonesia ke depan.
“Pilkada langsung bukan sekadar prosedur elektoral, tetapi merupakan komitmen menjaga demokrasi substantif yang telah diperjuangkan sejak Reformasi 1998,” ujarnya.
Argumen Efisiensi dan Penghematan Biaya
Kelompok yang mendukung pemilihan kepala daerah oleh DPRD menilai bahwa Pilkada langsung memakan biaya politik yang sangat besar. Negara harus menanggung anggaran logistik, penyelenggara, hingga keamanan, sementara kandidat mengeluarkan dana kampanye yang sering kali tidak sebanding dengan potensi penghasilan jabatan.
Kondisi ini diyakini membuka ruang korupsi, yang menurut banyak pihak berakar dari tingginya biaya politik pra-Pilkada.
Selain itu, Pilkada langsung juga dinilai rentan memicu gesekan sosial antarpendukung, terutama di daerah dengan polarisasi politik kuat. Melalui mekanisme legislatif, pemilihan dianggap lebih terkontrol dan minim konflik.
Kontra Narasi: Ancaman Kemunduran Demokrasi
Meski argumentasi efisiensi dianggap logis, Yakub menekankan bahwa mengembalikan Pilkada ke DPRD justru bisa menjadi bentuk kemunduran demokrasi.
Dalam Pilkada langsung, rakyat adalah sumber legitimasi utama, sementara pemilihan oleh DPRD mengandung risiko besar transaksi politik tertutup, kompromi elite, hingga dominasi oligarki partai.
“Mengembalikan pemilihan kepala daerah ke legislatif sama saja menghidupkan kembali praktik politik lama yang tidak transparan dan tidak partisipatif,” tulis Yakub dalam opininya.
Ia menegaskan bahwa Pilkada langsung juga terbukti membuka ruang bagi lahirnya pemimpin alternatif, bukan sekadar kandidat yang dikendalikan elite partai.
Selain itu, partisipasi publik bakal menurun drastis jika masyarakat tidak lagi dilibatkan secara langsung dalam pemilihan.
Menjaga Arah Demokrasi
Di tengah perdebatan panjang, Yakub mengingatkan bahwa mempertahankan Pilkada langsung adalah bagian dari menjaga arah demokrasi Indonesia agar tetap berada pada jalur reformasi.
“Pilkada langsung adalah medium pendidikan politik, artikulasi aspirasi, dan ruang konsolidasi demokrasi di daerah. Menghilangkan mekanisme tersebut akan mengubur kesempatan masyarakat untuk terlibat dalam proses politik,” tutupnya. (Red01)
