Ketua Umum Gerakan Mahasiswa Peduli Pendidikan (GEMA-PEKAN), M Abdul Rohim Rijki (Red/InfoSembilannews.com)
CIANJUR - Dua mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Swasta (STAIS) Al-Azhary Cianjur, berinisial AA dan MN, dikabarkan mendapat sanksi skorsing dari pihak kampus setelah menyuarakan aspirasi terkait kebijakan institusi yang dinilai merugikan kepentingan mahasiswa. Tindakan ini memantik reaksi keras dari kalangan mahasiswa, aktivis, dan pemerhati pendidikan di berbagai daerah.
AA dan MN diketahui terlibat dalam kegiatan penyampaian aspirasi mengenai isu transparansi kebijakan akademik serta akses informasi keuangan kampus. Kegiatan tersebut, yang menurut saksi berlangsung tertib dan damai, justru berujung pada pemberian sanksi akademik berupa skorsing, yang diduga disertai tekanan psikologis dari beberapa pihak internal.
Menanggapi hal ini, Ketua Umum Gerakan Mahasiswa Peduli Pendidikan (GEMA-PEKAN), M Abdul Rohim Rijki, menyatakan sikap tegas menolak segala bentuk pembungkaman terhadap suara mahasiswa. Dalam wawancara bersama awak media, Rohim yang juga dikenal sebagai aktivis dan pemerhati sosial serta pendidikan, menyampaikan keprihatinan dan kekecewaannya terhadap tindakan pihak kampus yang dianggap tidak mencerminkan semangat demokrasi dan etika akademik.
“Kami melihat ini sebagai preseden buruk bagi dunia pendidikan tinggi. Jika mahasiswa yang menyampaikan kritik dan saran harus dibalas dengan sanksi, maka yang sedang dibangun bukanlah kampus demokratis, melainkan institusi otoriter,” ungkap Rohim.
Ia menambahkan bahwa tindakan tersebut bukan hanya melanggar nilai-nilai akademik, tetapi juga secara moral merusak ruang aman berpikir yang seharusnya dijaga oleh institusi pendidikan. Menurutnya, tindakan ini menunjukkan bahwa masih ada kampus yang alergi terhadap suara mahasiswa.
“Saya prihatin sekaligus geram. Dunia kampus adalah ruang intelektual, bukan tempat untuk menindas gagasan. AA dan MN menyampaikan aspirasi yang sah, bukan melakukan pelanggaran etika. Kalau aspirasi saja diperlakukan sebagai ancaman, berarti ada krisis kepemimpinan dalam kampus itu sendiri,” kata Rohim.
Dalam wawancara lebih lanjut, Rohim juga menyinggung soal kegagalan institusi dalam membuka ruang partisipasi mahasiswa secara sehat. Ia menilai bahwa pengelolaan kampus harus berbasis dialog dan transparansi, bukan pendekatan kekuasaan yang menekan suara-suara kritis.
“Kampus bukan ruang satu arah. Mahasiswa bukan hanya objek yang diatur-atur, mereka adalah subjek aktif yang harus didengarkan. Kalau setiap kritik dijawab dengan ancaman, berarti pihak kampus telah gagal memahami esensi pendidikan,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia mendesak agar STAIS Al-Azhary Cianjur segera mencabut skorsing terhadap AA dan MN, serta memulihkan nama baik keduanya. Ia juga meminta agar kasus ini ditindaklanjuti oleh pihak eksternal, seperti LLDIKTI Wilayah IV Jawa Barat dan Kementerian Agama, guna memastikan tidak terjadi pelanggaran hak-hak mahasiswa.
“Saya pastikan, GEMA-PEKAN akan mengawal penuh kasus ini dan akan terus menyuarakan hak-hak mahasiswa yang terabaikan. Jangan sampai dunia kampus menjadi tempat yang memproduksi ketakutan,” ujarnya.
Dari sisi mahasiswa, AA dan MN menyampaikan bahwa mereka tidak pernah diberi ruang untuk melakukan klarifikasi atau pembelaan sebelum keterangan Cuti kuliah di LLDIKTI terbit. Mereka mengaku terkejut dengan langkah kampus dan merasa diperlakukan tidak adil.
“Kami hanya ingin menyampaikan kegelisahan teman-teman mahasiswa. Tapi setelah itu, kami justru merasa dimusuhi. Tidak ada ruang untuk berdiskusi, langsung diberikan skorsing. Itu sangat menyakitkan,” kata AA saat dikonfirmasi melalui pesan singkat.
Kasus ini pun mendapat sorotan luas di media sosial. Banyak mahasiswa dari kampus lain menyatakan dukungannya, Sejumlah organisasi mahasiswa turut menyatakan sikap mendesak agar sanksi tersebut segera dicabut dan proses internal kampus dievaluasi.
Sejauh ini, pihak STAIS Al-Azhary belum memberikan tanggapan resmi meskipun sudah dihubungi oleh sejumlah awak media. Salah satu staf akademik yang sempat dikonfirmasi hanya menyatakan bahwa semua keputusan berada di tangan pimpinan kampus, dan pihaknya belum diberi mandat untuk memberikan pernyataan.
Minimnya respons dari pihak kampus justru memperkuat dugaan bahwa skorsing terhadap AA dan MN dilakukan tanpa proses yang terbuka dan partisipatif. Beberapa alumni kampus tersebut juga menyampaikan keprihatinannya, menyebut bahwa tindakan semacam ini berpotensi mencoreng reputasi kampus secara luas.
M Abdul Rohim Rijki juga menutup pernyataannya dengan mengajak semua elemen mahasiswa untuk tetap bersuara dan tidak tunduk pada tekanan. Ia menekankan bahwa perubahan hanya bisa terjadi jika mahasiswa tetap konsisten menjaga idealismenya.
“Kita tidak boleh diam. Kita bukan musuh kampus, justru kita bagian dari kampus itu sendiri. Suara mahasiswa adalah energi perubahan, bukan ancaman. Kalau hari ini kita diam, maka esok akan lebih banyak yang dibungkam,” pungkasnya.
Kasus yang menimpa AA dan MN menjadi cermin persoalan serius yang masih dihadapi oleh banyak institusi pendidikan di Indonesia, khususnya terkait penghormatan terhadap hak-hak mahasiswa. Harapan besar kini tertuju pada keberanian semua pihak untuk membuka ruang dialog, membangun kembali kepercayaan, dan mengembalikan fungsi kampus sebagai tempat tumbuhnya nalar, etika, dan kebebasan berpikir. (Red)